Scriptwriter: Tsukiyamarisa
Title: 12 Tales: A Life-Story Called Love
Cast(s): All EXO member and You
Duration: 12 Ficlets in one (a total of 5000+ words)
Rating: T
Genre: Romance, Fluff, Sad/Hurt
Summary: Dua belas kisah berbeda tentang bagaimana cinta terjadi di dalam hidup mereka. They say that love is always present in our life-story…
Notes: This is a long, very long fic since it contains 12 ficlets as one. Anyway, among this 12 ficlets, there are eleven ficlets which ending happily + 1 ficlet with sad ending. Buat fans yang kebetulan dapet bias yang tidak berakhir bahagia disini, author mohon maaf sebesar-besarnya *deep bows*
***
I – Sunny SNSD & Luna f(x): It’s Me (223 words) | Kim Min Seok/Xiumin
It’s me who only wants you – the person who will only protect you is me
It’s me who is only looking at you by your side
Ia berlari menghampiriku, melambaikan tangannya dengan raut wajah yang menunjukkan rasa senang. Tak sampai semenit kemudian, kedua lengannya sudah merengkuhku erat, membuat asupan oksigenku berkurang secara drastis.
“Hentikan itu, Oppa. Kau ini seperti anak kecil saja,” gurauku sembari mencubit pipinya yang terlihat menggemaskan itu. Min Seok Oppa mengerucutkan bibirnya, namun kedua lengannya pun mengendur seiring dengan kata-kataku. Ia menarik diri, menatapku lekat-lekat. Detik berikutnya, kami pun tertawa bersama tanpa penyebab yang pasti.
Selalu seperti ini.
Aku dan Min Seok Oppa, kami selalu melewati hari demi hari dalam hidup kami dengan secercah kebahagiaan dan senyuman. Sekecil apapun itu, sesederhana apapun bentuknya, bahagia menjadi salah satu unsur yang pasti ada dalam hubungan kami. Mutlak.
Karena aku tahu, bahwa satu-satunya orang yang bisa membuatnya tersenyum riang layaknya bocah kecil hanyalah diriku semata. Satu-satunya orang yang selalu menginginkannya, tidak akan pernah merasa puas dengan pertemuan demi pertemuan kami setiap harinya. Satu-satunya orang yang ingin selalu memenuhi ruang hatinya, berjalan mengiringi langkahnya dalam kehidupan ini.
Orang itu adalah aku.
Min Seok Oppa memandangku lagi, masih dengan sorot matanya yang jenaka. Meskipun begitu, aku masih bisa melihat suatu rasa yang terselip di baliknya. Sesuatu yang membuatku merasa bahwa ini semua adalah suatu keajaiban yang begitu indah dan memukau.
Karena aku tahu, ia pun memikirkan dan memiliki perasaan yang sama persis dengan apa yang aku rasakan.
Dan kurasa, itu cukup.
**
II – EXO-K: What is Love (194words) | Do Kyung Soo/D.O.
When you hold my hand, the whole world envies
When you kiss me, I finally realize this feeling will never change
I just want to let you laugh like an innocent child
I just want to give you friend-like comfort
My babe, baby babe, baby, baby… Please tell me what is love
Cinta itu…
Ketika aku menatapnya dan seluruh dunia berhenti berputar, dimana fokus dari kedua manik mataku hanyalah dia semata.
Ketika tangan kami bertautan dan mendadak saja kepercayaan diriku pun meningkat, membuat orang-orang lain merasa iri akan kedekatan kami.
Ketika ia bernyanyi untukku, membuaiku dalam suara lembutnya, membawaku masuk dalam sebuah cerita fantasi dengan akhir bahagia.
Ketika aku merasa bahwa ia bisa berperan menjadi segalanya di dalam hidupku. Kakak, saudara, pelindung, sahabat, dan juga kekasih.
Ketika ia berubah menjadi morfin yang meredakan rasa sakit –membuat luka tak lagi berarti, menghilangkan kesedihan bagai disapu oleh kegembiraan.
Dan ketika kami berbagi kecupan dan pelukan, meyakini bahwa ini semua tak akan pernah berakhir. Kupu-kupu masih berterbangan dalam perut kami, degup jantung masih bertalu, kulit kami masih tergelitik dalam merespon setiap sentuhan, dan aliran darah masih melukiskan rona kemerahan pada wajah kami.
“Kyung Soo-ya…”
“Mmm?”
“Menurutmu, apa itu cinta?
Kyung Soo mengambil jeda sejenak, membelai-belai rambutku dan memainkan ujung-ujungnya disela-sela jari.
“Cinta itu… adalah semua hal yang telah terjadi di antara kita berdua selama ini.”
“Begitukah?” tanyaku perlahan. Ia menatapku dengan mata berbinar, kemudian mengangguk mantap.
Kalau begitu, cinta itu adalah segalanya.
Dan Do Kyung Soo adalah segalanya untukku.
**
III – FTIsland: I Confess (273 words) | Kris Wu
Now, I confess my heart to you
Only heaven knows my heart
At times, I hurt you with my mistakes, but you never once blamed me and you gave me strength, smiling, it’s okay, it’s okay
Whenever I made you upset by saying I’m busy, you could have blamed me, but you believed in me, saying don’t worry, don’t worry
“Aku menyukaimu.”
Kris balas menatapku, bungkam tanpa kata tatkala ia mendengar pengakuanku. Aku menggigit bibir bawahku, merasakan gugup dan khawatir merambati diriku.
Ia pasti menolakku.
Mana mau ia bersanding dengan seorang gadis sepertiku? Aku ini hanya gadis yang ceroboh dan selalu mendatangkan masalah. Alih-alih membuatnya merasa senang dan bangga, aku lebih sering membuat pria di depanku itu terjebak dalam situasi-situasi aneh yang membuatnya malu. Ia terlalu sempurna.
Dan aku terlalu egois karena menginginkan sosoknya itu untukku seorang.
Kris adalah laki-laki yang baik, dewasa, dan penuh perhatian, meskipun ia selalu menyembunyikan semua itu di balik topeng wajahnya yang dingin. Ia adalah seseorang yang selalu memaafkan kesalahanku, menenangkanku dengan kata “tidak apa-apa” tiap kali sifat kekanak-kanakanku keluar dan tanpa sadar aku pun telah melukainya dengan tak bertanggungjawab.
Pernah di lain waktu, aku mengecewakannya dengan melakukan sebuah pelanggaran janji. Aku membiarkannya menunggu satu jam di bawah derasnya hujan, sementara aku sendiri menolak untuk hadir demi memenuhi janji temu kami. Dan apa yang ia katakan sewaktu itu?
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja.”
Kalau begitu, harapan apa yang kupunya? Berharap bahwa Kris akan menerima perempuan yang merepotkan sepertiku?
“Aku juga.”
Kepalaku tersentak kaget mendengar kata yang tiba-tiba terlontar dari bibirnya itu. Juga apa?
“Apa?”
“Aku juga menyukaimu,” tambahnya lagi, memperjelas maksudnya. Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mataku, tak percaya.
“Benarkah?”
“Lagipula, siapa lagi yang bisa menerima wanita ceroboh sepertimu? Dan sayangnya, aku malah jatuh hati pada wanita itu,” imbuhnya dengan nada usil. Aku tersenyum kecil, sama sekali tak merasa kesal dengan sindirannya itu.
Karena ia benar. Ia selalu benar.
Memangnya, siapa lagi orang yang sanggup membuatku memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanku seperti ini?
Kurasa, jawaban untuk pertanyaan itu hanyalah satu. Dirinya –Kris Wu.
**
IV – CNBlue: Still in Love (338 words) | Huang Zi Tao/Tao
My painful love, I’m hurting as if I cut my skin
I try to hold it in but soundlessly, it hurts
My aching love, it’s bitter as if I swallowed poison
I try to smile but I’m faintly aching
“Kita akhiri saja semua ini.”
“Kenapa?”
“Kita tidak ditakdirkan untuk hidup bersama.”
Kalimat-kalimat itu tak pernah benar-benar meninggalkan benakku. Waktu berputar sedemikian cepatnya, minggu demi minggu telah berlalu. Namun aku tetaplah berada disini, bertahan pada kondisi yang sama, membeku tanpa bergerak maju barang sedikitpun.
Tidak pernah ada cukup waktu untukku agar bisa melupakannya. Huang Zi Tao. Laki-laki bodoh yang dengan seenaknya memutuskan hubungan tanpa alasan pasti. Pergi begitu saja, seolah-olah mendepakku jauh-jauh dari hidupnya adalah sesuatu yang ingin ia lakukan sejak dulu.
Aku menjerit frustasi, menatap ke sekeliling kamarku yang tampak tak karuan. Kertas-kertas berserakan dan pecahan kaca tersebar di sudut sana –hasil dari emosiku beberapa saat lalu yang berujung pada aksi membanting pigura kecil berisikan fotoko dan Tao. Sepraiku tampak kusut, begitu pula halnya dengan lemari bajuku yang terbuka lebar dan membiarkan isinya berhamburan keluar.
Sial kau, Tao! Semudah itu kau pergi dan mengacaukan hidupku?
Seharusnya, kau bawa pergi juga kepingan-kepingan kenangan manis itu dari hidupku saat kau pergi dulu. Bukan seperti ini! Meninggalkanku terkubur dalam reruntuhan bangunan cinta kita, membiarkanku mencari jalan keluar sendiri.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Tahukah kau betapa sakitnya hatiku? Sama perihnya seperti menorehkan luka dengan pisau di atas kulit. Sama pahitnya layaknya racun yang tak memiliki penawar.
Dan apa pertanggungjawabanmu atas hal itu? Tak ada.
Aku menggulingkan tubuhku di atas kasur, menatap nanar ke arah hamparan kain putih kosong di sampingku. Dulu, ada Tao disana. Ada laki-laki yang akan memelukku erat dan berbagi canda tawa denganku. Ada seseorang yang menjadi tempat bersandar ketika aku membutuhkannya.
Kupejamkan mataku rapat-rapat, berusaha memproyeksikan imaji yang kumiliki atas keberadaannya. Membiarkan raga itu kembali berada di sana, merengkuhku dalam lengan besarnya yang hangat. Aku mulai bisa membayangkannya, merasakannya, ketika aku pun sadar ada sesuatu yang salah sedang terjadi disini.
Pelukan itu dingin, tak lagi hangat. Tawa itu palsu. Dan suara beratnya melontarkan kata yang sama sekali tak ingin kudengar.
“Selamat tinggal.”
Kubuka mataku, dan untuk kali ini akhirnya aku pun tersadar. Fakta itu merasuk dalam pikiranku, memaksaku berpaling kembali pada akal sehat.
Huang Zi Tao tidak akan kembali lagi.
**
V – Lyn: Back in Time (417 words) | Park Chan Yeol
It scatters – the times you were with me, the memories you were with me
Can I travel back time and hug you just like before?
Just for once, even if it’s last
I’ll be better
Apa menyimpan memori itu tak ada gunanya? Apa kenangan bersamamu itu memang pantas untuk dilupakan?
Pertanyaan itu berputar dalam benakku, menuntut akan hadirnya sebuah jawaban. Jawaban yang –bahkan –aku sendiri pun tidak mengetahuinya.
Sedikit banyak, aku sedikit menyesali keputusan kami dulu. Kami berpisah baik-baik; tidak ada air mata, kata-kata emosi, tamparan, dan juga janji untuk kembali. Kami hanyalah dua orang yang saling memahami kepentingan masing-masing, menerima bahwa perpisahan ini perlu.
Atau setidaknya, itulah yang dulu kupikirkan.
Park Chan Yeol sudah melanjutkan hidupnya. Melanjutkan studi di luar negeri dan kembali sebagai seorang model yang langsung dilirik oleh berbagai brand ternama di Korea. Ia sudah mencapai tujuannya, hal yang menjadi alasan mengapa kata “putus” bisa terdengar masuk akal pada kala itu.
Dan aku, bisa dibilang aku pun melanjutkan hidupku sendiri. Atau kupikir, begitulah tampaknya dari luar. Aku belajar mati-matian, lulus dengan predikat mahasiswa terbaik di fakultasku, dan aku pun sudah menjadi seorang penulis novel yang dikenal banyak orang.
Tetapi, meskipun hidupku terus berlanjut, tidak begitu adanya dengan hatiku. Alam bawah sadarku tahu itu. Diam-diam, aku masih mencari-cari kenangan lama kami yang tersebar entah di mana. Berusaha meraupnya dan menyetorkannya kembali ke dalam ingatanku, meskipun aku tahu bahwa hal itu hanya akan melukai diriku sendiri.
Jadi sekali lagi aku pun bertanya, pantaskah aku mengingat-ingat semua yang telah lalu? Bertingkah seakan aku dan Chan Yeol masih memiliki harapan untuk hubungan kami? Bolehkah aku berharap untuk kembali ke masa lalu? Ke saat-saat dimana kami masih muda dan naif, dua anak remaja yang belum begitu peduli akan masa depan mereka. Saat dimana aku bisa menggapainya, mendekap tubuhnya erat tanpa perlu bersusah payah.
Bisakah aku?
“Maaf, kau…”
Aku menoleh, mataku bertemu pandang dengan mata seorang lelaki jangkung dalam balutan kemeja biru muda. Sebuah perasaan yang tak asing menyergap, membuatku merasa berada di dalam déjà vu.
“Jadi benar itu kau? Masih ingat denganku?”
“Yeol-a? Park Chan Yeol?” tanyaku lirih sembari membekap mulutku. Tak percaya. Secepat itukah jawaban atas pertanyaanku muncul?
“Lama tidak berjumpa,” balasnya ceria, menampilkan cengiran usil yang tak lama kulihat. Aku menelengkan kepala, masih berusaha memastikan bahwa ini semua bukan halusinasi. Belum sempat aku kembali ke akal sehatku, kedua lengannya telah menarikku ke dalam hangatnya sebuah pelukan.
“Ini aku… Chan Yeol-mu yang dulu…”
Dan air mataku pun meleleh begitu saja.
“Maafkan aku, tapi ternyata aku pun tak sanggup berpisah terlalu lama darimu…”
Aku terisak lagi, membenamkan wajahku semakin dalam pada kemejanya. Kini aku telah menemukan jawaban yang tepat.
Kenangan itu pantas untuk dipertahankan.
Karena kisah kami yang dulu pernah terajut itu masih akan berlanjut.
**
VI – SS501: Forever (315 words) | Kim Joon Myeon/Suho
I wanna be with you my love
I promise you under the sky
I will protect you
For eternity
I love you
“Hiduplah bersamaku…”
Aku memandang Joon Myeon yang berlutut di hadapanku sembari meremas-remas ujung gaun baju terusanku. Beberapa orang yang kebetulan melintasi kami berhenti sejenak dan melempar pandangan ingin tahu. Saat ini, aku dan Joon Myeon tengah menjadi tontonan yang menarik bagi mereka. Jarang-jarang kan kau melihat seorang lelaki melamar gadisnya di pinggir sungai Han seperti ini?
Dan gadis itu adalah aku.
Joon Myeon tampaknya tak begitu terpengaruh oleh kebisingan di sekitar kami. Matanya terfokus kepadaku, pancarannya penuh dengan sorot keyakinan dan keseriusan. Aku menelan ludahku, gugup. Jawaban apa yang harus kuberikan?
Tentu saja kau harus menerimanya!
Tetapi, kami kan baru berpacaran selama empat bulan!
Kedua sisi yang berlawanan arah di dalam diriku itu terus berdebat, sementara aku hanya bisa menekan-nekan pelipisku dengan panik. Apa yang harus aku katakan?
“Kenapa aku, Joon Myeon-a? Dari sekian banyak gadis…” suaraku semakin mengecil dan akhirnya hilang ditelan rasa takut. Perasaan cemas itu berlipat ganda, sementara aku menanti bibirnya terbuka untuk memberi jawaban.
“Karena aku merasa kaulah orang yang tepat untukku. Karena bersamamu, aku tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan karena kau adalah kau, orang yang selalu ingin kujaga sepenuh hati dengan seluruh hidupku.”
Aku terdiam, merasakan bulir-bulir air mata mulai terbentuk dan mengalir pelan membasahi kedua pipiku. Joon Myeon adalah lelaki yang baik dan bertanggungjawab, itu aku sudah tahu. Joon Myeon adalah orang yang manis dan selalu menyayangiku, itu juga aku tahu.
Namun baru sekarang aku tahu, baru sekaranglah aku benar-benar menyadari seberapa tulusnya cinta pria itu kepadaku. Ketulusan Joon Myeon sama berharganya dengan nyawanya sendiri.
Jadi, apa aku masih bisa menolak?
“Aku mau,” bisikku akhirnya. Orang-orang di sekitar kami bertepuk riuh, menyoraki kami dengan ucapan selamat. Joon Myeon pun bangkit berdiri, menggenggam kedua telapak tanganku erat-erat. Ia melemparkan senyum manisnya, senyum yang selalu berhasil memenangkan hatiku.
“Terima kasih banyak. Aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu. Sepanjang hidupku. Sampai maut memisahkan kita.”
Dan itu berarti selamanya untukku.
**
VII – A-Pink: I Don’t Know (415 words) | Oh Sehun
Don’t do this
Baby you don’t know, you still don’t know my heart
Don’t stop, there’s no more time
You don’t know
Oh Sehun adalah lelaki paling bodoh sedunia.
Tetapi aku menyukainya.
“Sehun-a, mau makan siang bersama?”
Ia mendongakkan kepalanya, melemparkan senyum lebar ke arahku. Dengan sigap, ia pun telah berpindah dari ambang pintu kelasnya ke sisiku, menarik-narik lenganku menuju kantin sekolah. Aku berteriak memprotes, namun ia telah terlebih dahulu menulikan telinganya terhadap kata-kataku. Tanpa mempedulikan rentetan kata-kata yang keluar dari bibirku, ia mengangkat tangannya dan mulai mengacak-acak rambutku.
“Ya! Oh Sehun!”
Ia menjulurkan lidah layaknya anak kecil, kemudian berlari mendahuluiku. Meninggalkanku yang masih menggerutu –separuh kesal dan separuh senang. Kesal, karena sifat kekanak-kanakannya itu tak pernah berubah seiring dengan bertambahnya usia. Senang, karena sejujurnya aku menyukai pemuda itu. Bisa berdekatan dengannya dan memiliki embel-embel sebagai teman akrab tentunya cukup untuk membuatku bahagia.
Hanya cukup.
Karena aku menginginkan lebih. Ingin mengungkapkan perasaanku padanya dan mendengar jawaban “iya”. Ingin berjalan berdampingan dengannya sebagai kekasih, bukan hanya teman semata. Ingin mendengarnya memanggilku dengan panggilan sayang, bukan mengejekku tiap kali kami berjumpa.
Aku ingin semua itu.
Tetapi, Sehun itu bodoh. Idiot. Mengesalkan.
Pernah ada seorang perempuan –adik kelas kami di sekolah –yang terang-terangan berkata bahwa ia menyukai Sehun, mencintainya. Dan apa tanggapan Sehun waktu itu? Ia malah memasang wajah polos dan menanyakan satu hal yang sama sekali tak kusangka-sangka.
“Kalau aku menjawab ‘iya’ berarti gadis itu akan menjadi kekasihku, ya? Lalu selanjutnya bagaimana?”
Dan aku pun hanya bisa melongo lebar, tak tahu harus memberikan balasan apa.
Kulangkahkan kakiku memasuki kantin, menghampiri Sehun yang sudah terlebih dahulu menyantap nasinya. Aku terduduk malas, mengedarkan pandangku ke seisi kantin yang mulai disesaki murid-murid lain.
Iri.
Di sudut sana, aku bisa melihat Baek Hyun yang sedang bercanda dengan seorang gadis. Meja sebelah kami malah lebih parah. Jong In dan Chan Yeol tampaknya berniat untuk melangsungkan double date di kantin saat ini juga.
Dan aku? Terjebak di meja ini bersama seorang Oh Sehun yang terkenal cuek dan tak tahu apa-apa soal berpacaran.
“Kau kenapa? Jangan bilang kau suka dengan Baek Hyun sunbae, sedari tadi kau terus mengamatinya,” komentar Sehun dengan polosnya. Aku mendelik ganas, nyaris melemparkan sumpit yang kubawa ke puncak kepalanya.
Tiba-tiba, aku jadi penasaran. Bagaimana kalau aku mencoba menyatakan perasaanku kepadanya?
“Sehun-a…”
“Mmm…”
“Aku mencintaimu. Bagaimana kalau kita berpacaran?”
Sehun serta-merta menjatuhkan sumpitnya, mengabaikan makan siangnya begitu saja. Ia menatapku dengan pandangan aneh, membuatku mulai berpikir yang tidak-tidak. Hei, Oh Sehun, aku tidak sedang bercanda!
“Err… aku juga menyukaimu, menyayangimu… maksudku, kau kan satu-satunya gadis yang dekat denganku, jadi…”
Jawab saja Sehun! Jawab layaknya seorang lelaki!
“Bolehkah aku berkata ‘iya’ untuk pertanyaanmu itu?”
**
VIII – K.Will: I Need You (329 words) | Luhan
I need you, I need you
Even if a year passes, if ten years pass, I am the same
I’m a person who didn’t forget even for a single day
It needs to be you, you are my love
I can’t go on without you, I need you
“Selamat pagi, manis.”
Aku terkikik kecil, kemudian membalas ucapan selamat pagi yang dilontarkan oleh Luhan tadi. Dengan langkah ringan, aku menghampirinya dan meraih helm berwarna putih yang diulurkan olehnya. Dalam waktu singkat, aku sudah duduk di belakangnya dan melingkarkan kedua lenganku ke pinggangnya erat-erat. Siap untuk menjalani hari ini bersamanya.
.
.
“Makan siangmu…”
“Mmm… terima kasih,” ucapku pelan sembari meneruskan pekerjaanku. Mataku tak kunjung lepas dari lembaran-lembaran esai di hadapanku, tugas kuliahku hari ini. Masih mengabaikan kehadiran Luhan dan senampan penuh makanan yang ada, aku mencoret salah satu kalimat dalam esaiku dan menggeleng-gelengkan kepala tanda tak mengerti.
“Kau mengabaikanku,” kudengar Luhan mendengus kesal sembari bangkit berdiri. Ia berjalan memutari meja dan tiba-tiba saja memelukku dari belakang. Menyandarkan kepalanya dengan manja di atas bahuku, membuat konsentrasiku pecah seketika itu juga.
“Lu…”
“Tidak mau. Siapa suruh kau mengabaikanku,” rajuknya sembari menarik ujung hidungku. Aku mengaduh pelan, menyingkirkan tangannya yang sudah siap mencubit pipiku.
“Ingat umur, Lu…”
Ia berdecak pelan, kemudian kembali duduk di atas kursinya sendiri. Bibirnya mengerucut tanda ia sedang sebal. Berniat usil, aku pun menyumpit potongan telur yang ada di atas piringku, menyodorkannya dengan paksa ke depan mulutnya. Ia memelototiku, namun akhirnya membiarkanku menyuapinya juga. Aku tertawa geli melihatnya.
“Dasar bocah.”
.
.
“Selamat tidur.”
Aku mengangkat alis, merasa janggal dengan sapaan selamat malamnya itu. Tidak biasanya ia hanya mengucapkan dua kata itu tanpa diiringi kalimat-kalimat rayuan lainnya.
“Hanya itu?”
Luhan mengangguk lagi, namun perlahan ia maju selangkah mendekatiku. Mempertemukan dahi kami, kemudian mengecup bibirku sekilas.
“Sampai besok.”
Aku mengiyakannya, menatap punggungnya yang mulai menjauh seiring dengan laju motornya. Kuhela napasku panjang, benakku berkeliaran memikirkan rutinitas yang baru saja kami jalani. Berangkat bersama, makan siang, kuliah, jalan-jalan, dan ucapan selamat malam. Selalu sama setiap harinya.
Tapi aku tidak akan pernah bosan. Tidak sedikitpun.
Setiap hari yang telah terlewati tidak akan pernah kami lupakan, setiap detailnya akan kusimpan rapat-rapat di dalam memori milik kami berdua. Jam boleh berdetik dan bumi boleh tetap berputar, tetapi hari-hari yang kami lalui akan tetaplah sama –bahagia karena hal-hal kecil yang sederhana.
Karena aku tahu, aku tidak akan bisa melewati hariku tanpanya.
Karena ia tahu, ia tidak akan bisa berjalan maju tanpaku.
Dan karena kami tahu… kami saling membutuhkan.
**
IX – Onew SHINee: In Your Eyes (420 words) | Kim Jong In/Kai
I hope the place where love lingers, can be somewhere we can be together
It feels like a dream that I’ll never wake up from, it really seems like a dream
I remember the day we first met
You came to me on a dazzling and bright day
Thank you so much for coming to me
Aku mengerjap-ngerjapkan kedua kelopak mataku, berusaha menghalau bias-bias sinar mentari yang tiba-tiba saja menyerbu masuk ke dalam kamarku. Samar-samar, bisa kudengar suara seseorang yang tak lagi asing menarikku kembali ke alam sadar.
“Hei pemalas, ini sudah siang.”
Mataku terbuka sepenuhnya, kali ini menyipit saat memandang punggung lelaki yang sudah kukenal dekat itu berada di depanku. Tepatnya, di dalam kamarku.
“Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini, Jong In-a?” gumamku dengan suara serak. Kududukkan diriku di atas kasur, masih tak mampu untuk melepaskan pandangan dari sosoknya. Ia berbalik dan ikut mendudukkan diri di atas tempat tidurku, bibirnya melemparkan senyum menggoda ke arahku.
“Tidak apa. Hanya rindu untuk segera bersama denganmu.”
“Kau merayuku?”
Jong In terkekeh pelan, jemarinya mulai merambati puncak kepalaku dan turun hingga ke ujung-ujung helai rambutku. Membelai-belainya dengan lembut dan mengalirkan gelombang hangat ke sekujur tubuhku.
“Mimpimu indah? Kau terlihat malas untuk bangun hari ini,” komentarnya lagi sembari menyelipkan seberkas rambut ke belakang telingaku. Sasarannya pun berganti, ujung-ujung jari tangannya kini mulai menggelitik kulit pipiku.
“Terlalu indah. Dan nyata.”
“Ceritakan.”
“Aku memimpikan hari pertama kita bertemu dulu, saat kau baru saja pindah ke sebelah rumahku. Laki-laki berkulit kecokelatan yang berhasil membuatku terkagum-kagum dalam jangka waktu dua puluh empat jam saja. Ingat?”
Jong In mengangguk, bibirnya terangkat membentuk senyuman. Tentu saja, mana mungkin kami melupakan hal itu? Kali pertama aku melihat kekasihku ini adalah dari ambang jendela kamarku yang kebetulan berhadapan dengan kamar tidurnya. Saat itu ia sedang berlatih dance dan membiarkan jendela kamarnya sendiri terbuka lebar. Memberiku akses penuh untuk mengaguminya.
Kala itu, ada saat dimana dua pasang manik mata kami bertemu dalam satu garis lurus. Entah karena ikatan takdir atau murni sebuah ketidaksengajaan, pada hari itu jugalah kami tahu bahwa suatu saat nanti kami pasti akan berakhir bersama-sama. Dan rupanya, firasatku dan Jong In pada waktu itu memang benar-benar berujung pada sebuah kenyataan.
“Kau tahu… aku tidak akan pernah bisa melukiskan betapa besarnya rasa terima kasihku kepadamu. Karena telah masuk ke dalam hidupku. Karena telah membuat hari-hariku dipenuhi senyuman. Kupikir, aku tidak akan pernah bisa membalas kebaikanmu itu,” aku mengakui sembari menatap lekuk wajahnya dengan saksama. Senang karena mengetahui bahwa pemilik dari wajah itu adalah milikku.
Jong In mengerutkan kening, tampak tidak sepenuhnya setuju dengan ucapanku. Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, ia sudah terlebih dahulu memotong jarak di antara kami dan menanamkan sebuah ciuman lembut di atas bibirku. Membiarkannya beradu selama beberapa detik sebelum akhirnya ia melepaskan diri.
“Kurasa, yang tadi itu cukup untuk membalas kebaikanku selama ini.”
Dan lagi-lagi, semburat merah pun kembali muncul di kulit wajahku.
**
X – FT.Island: I Wish (535 words) | Zhang Yi Xing/Lay
Baby, I wish it was you, I wish it was so
Love me love me, oh look at me
I wish my other half was you
Harapan.
Hanya itulah satu-satunya hal yang kumiliki saat ini.
Aku bukanlah orang yang kaya raya pun terkenal. Bukan pula seseorang yang memiliki wajah cantik bak dewi atau kerlingan mata yang bisa merebut hati setiap lelaki. Aku hanya perempuan biasa yang menjalani hari-hariku dengan normal. Bangun pagi, kuliah, mengerjakan tugas, bekerja di toko roti hingga larut, kemudian tidur. Hal-hal yang terus berputar dalam hidupku bagaikan siklus yang sudah pasti. Tetap. Teratur.
Sampai satu orang itu datang dan memporak-porandakan hidupku.
Namanya Zhang Yi Xing. Ia tidak memiliki sesuatu yang amatlah spesial hingga bisa menarik perhatian setiap orang kepadanya. Ia tidak juga memiliki keramahan yang bisa membuatnya disenangi segala kalangan. Malah sebaliknya, ia begitu jarang berbicara dan selalu tampak seolah-olah tak terlihat.
Tetapi aku melihatnya.
Meskipun ia layaknya tersembunyi di balik kabut asap misterius, tetapi aku melihatnya. Aku memperhatikannya, mengamati setiap kegiatannya dan bagaimana cara ia menjalani hidupnya. Aku suka memandanginya, terlebih ketika sesekali aku menangkap basah dirinya yang sedang tersenyum. Jarang, memang. Namun, ia memiliki senyum yang menawan dengan lesung pipi yang tercetak kala kedua sudut bibirnya itu terangkat. Segaris senyuman yang telah mampu merebut hatiku.
“Hei, aku akan sekelompok denganmu dalam tugas penelitian kali ini.”
Aku mengerjap begitu saja, kaget tak terkira saat mendapati Yi Xing sudah duduk di hadapanku. Ia yang tadi duduk empat kursi jauhnya dariku, kini sudah berada di dalam jangkauan tanganku. Mataku pun teralih untuk menatap sosoknya yang sedang sibuk membolak-balik buku agenda.
“Eumm, penelitian yang mana?” tanyaku seperti orang bodoh. Otakku masih belum mau bekerja dengan semestinya –salahkan kehadiran pria ini yang begitu dekat denganku. Yi Xing mengangkat alisnya, mungkin ia benar-benar menganggapku bodoh dan konyol.
“Yang tadi dijelaskan oleh dosen itu. Kau tak mendengarkan?”
“Err… maaf,” gumamku lagi ketika melihat raut wajahnya. Ia sudah terdiam dan menyibukkan diri di balik bukunya. Pasti sekarang ia menyesal karena harus bekerja sama dengan orang yang tidak pernah memperhatikan pelajaran sepertiku ini.
“Ya sudah, tidak apa kalau begitu. Bagaimana kalau kita mulai sekarang?”
“Huh?”
“Penelitiannya, maksudku,” Yi Xing menambahkan dengan nada seolah memberi penjelasan kepada anak kecil. Aku tertunduk malu, tak sanggup membalas sorot matanya itu. Jadi, ia tidak merasa sebal atau marah padaku? Baik juga dia mau bekerja denganku yang malas-malasan ini.
“Oke. Sekarang?”
Yi Xing mengangguk, serta-merta ia pun meraih pergelangan tanganku dan menarikku menuju tempat parkir kendaraan yang terletak di halaman universitas. Mataku sontak melotot, nyaris saja meloncat keluar dari rongganya. Ia menyentuhku dengan mudahnya tanpa mengetahui bagaimana reaksi tindakannya itu terhadap tubuhku.
Jantungku berdegup cepat, menuntut untuk segera mengalirkan darah lebih banyak ke wajahku. Mukaku memanas, demikian pula dengan pergelangan tanganku yang dilingkari oleh genggaman hangatnya.
Kalau sudah begini, bolehkah aku sedikit berharap?
Berharap bahwa ia akan melihatku seorang seperti aku yang selalu melihatnya. Berharap bahwa takdir akan mempertemukan kami berdua sebagai sepasang hati yang saling melengkapi. Dan berharap bahwa semua mimpiku akan segera menjadi nyata.
Bolehkah?
“Aku mau makan siang dulu, kau mau ikut denganku?”
Aku menoleh, menatap Yi Xing yang sudah duduk di atas motornya. Kuanggukkan kepalaku dengan hati mantap. Mendadak saja aku meyakini bahwa harapan itu ada. Aku boleh berharap untuk memilikinya suatu hari nanti.
Tetapi untuk hari ini, kupikir aku sudah merasa puas dengan apa yang kuperoleh.
Awal dari hubungan kami akan dimulai disini, iya kan?
**
XI – Kim Jong Kook: One Man (501 words) | Kim Jong Dae/Chen
There’s a man. Who loves you so much
There’s a man. Who can’t even say I love you
By your side I put my hand out at a path were you can always reach me
I, who cherishes you more than myself, am with you
Lagi-lagi, aku datang ke café ini hanya demi mendengar suaranya. Seorang waiter di tempat ini sekaligus seorang penyanyi yang terkadang mengisi suasana di café dengan alunan suara merdunya. Kim Jong Dae.
Lelaki itu sudah berdiri di atas panggung kecil kebanggaannya, meraih microphone dan berbincang sejenak dengan para pengunjung yang memenuhi tempat kerjanya ini. Ia melemparkan senyum bersahabat, kemudian dalam satu tarikan napas panjang berikutnya, sebuah lagu pun mulai dilantunkannya.
Secara otomatis, aku pun memejamkan mata dan meresapi lagu yang dibawakannya. Mendengar bagaimana suara indahnya mampu menyentuh sudut-sudut hatiku, menggetarkannya dengan sebuah rasa yang membuatku ingin menangis.
There’s a man. Who can’t even say I love you….
Aku mulai bertanya-tanya, untuk siapa ia menyanyikan lagu ini?
Siapapun dia, aku yakin lelaki bernama Kim Jong Dae itu pastilah sangat mencintainya. Lagu yang ia bawakan kali ini bercerita mengenai seorang pria yang diam-diam menyukai seorang wanita, namun tak kunjung memiliki waktu dan keberanian untuk mengungkapkannya. Pria yang hanya bisa menjaga wanita yang disayanginya dari kejauhan, berpura-pura bahwa hal sesederhana itu saja sudah cukup untuk menutupi kegusaran hatinya.
Begitu indah, namun juga menyakitkan pada saat yang sama. Aku bisa merasakan tanganku terangkat dengan sendirinya untuk mengusap butiran air mata yang mulai menggantung di sudut kelopak mataku.
“Terima kasih banyak. Saya juga ingin memberitahu bahwa hari ini adalah hari yang istimewa bagi saya,” ia berkata lantang sambil mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Matanya sempat bertemu pandang denganku beberapa kali sebelum akhirnya ia pun kembali menundukkan kepala.
Aku menopangkan kepalaku di atas kedua telapak tanganku, menanti kata-kata Jong Dae selanjutnya.
“Untuk hari ini, aku akan mempersembahkan lagu yang baru saja kunyanyikan tadi untuk seorang gadis yang telah berhasil menarik hatiku,” ia kembali berucap. Seluruh penjuru café mulai dipenuhi oleh dengungan riuh rendah, sementara kedua mataku pun terbuka lebar-lebar karena rasa penasaran.
Jadi Jong Dae benar-benar menyukai seseorang seperti kisah lelaki di lagu itu? Seperti apa ya, orangnya?
“Gadis itu selalu duduk di pojok belakang kanan café dan ia selalu memesan segala minuman yang mengandung cokelat. Saat ini pun, ia sedang berada di dalam café dan mendengarkan perkataanku.”
Aku dan pengunjung-pengunjung lainnya pun sontak memutar kepala untuk melihat siapa sosok yang dimaksud oleh Jong Dae. Kugelengkan kepalaku ke arah kanan dan kiri dengan bingung, mencari-cari siapa gadis beruntung itu. Tidak ada.
“Wah, ia beruntung sekali!” salah seorang murid sekolah menengah yang berdiri tak jauh dariku berceletuk keras, telunjuknya terarah kepadaku. Aku menunjuk diriku sendiri dengan bingung, tidak begitu yakin dengan apa maksud perkataannya.
Aku?
Aku menunduk dan kali ini kedua bola mataku menangkap gambaran secangkir cokelat hangat yang tersaji di atas mejaku. Tunggu sebentar.
Pojok belakang kanan café. Minuman cokelat. Itu adalah diriku sendiri.
Kim Jong Dae tertarik… padaku?
“Bolehkah aku mengenalmu lebih dekat, Nona?”
Aku mengangkat kepalaku, mendapati Jong Dae sudah berdiri di sana dengan senyum lebar. Ragu-ragu, aku pun menganggukkan kepala, menyetujui ajakannya itu. Memulainya dengan saling mengenal satu sama lain sepertinya bukanlah sebuah awal yang buruk. Siapa yang tahu, kalau suatu saat nanti kami mungkin saja benar-benar berjodoh?
Selamat datang ke dalam hidupku, Kim Jong Dae.
**
XII – EXO-K: Into Your World (408 words) | Byun Baek Hyun
I, who has fallen in love with no other place to go back, my wings have been taken away
Even though I lost my everlasting life, the reason to my happiness
You are my eternity
Eternally Love
“Baek Hyun, kau yakin?”
“Tentu saja, apa kau meragukan perasaanku?”
Aku menggeleng cepat, menahan ledakan perasaan khawatir yang nyaris membuncah memenuhi diriku. Saat ini aku begitu kalut, takut jika saja semua keputusan Baek Hyun ini tidak akan berjalan lancar.
Orang-orang di sekitar kami tidak pernah benar-benar mengerti dan mencoba untuk menerima hubunganku dengan Baek Hyun. Lelaki di sampingku ini adalah seorang anak dari pengusaha kaya. Hidupnya serba berkecukupan, ditunjang dengan wajahnya yang tampan dan berbagai macam bakat serta kepintaran yang ia miliki. Ia selalu tampak sempurna, meskipun pada kenyataannya tidak begitu.
Semua ini karena aku.
Aku, seorang gadis biasa yang hidup serba pas-pasan, jatuh cinta dengan laki-laki dari kelas atas bernama Byun Baek Hyun. Bisa ditebak bukan apa reaksi orang-orang di sekitarku? Semuanya amatlah klise, bahkan nyaris terasa seperti drama televisi.
Mereka menolakku, tentu.
Ditambah fakta bahwa orangtua Baek Hyun sudah memilih calon pendamping hidup untuk lelaki itu, membuat benang-benang di dalam hidupku menjadi bertambah rumit, tak lagi bisa teruraikan.
Lalu, apa yang kami lakukan?
Mulanya, aku berniat untuk memutuskan hubungan dengan Baek Hyun. Melepaskan lelaki itu, membiarkannya menjadi anak yang berbakti, dan aku pun akan berusaha keras untuk melanjutkan hidupku sendiri. Bukan masalah besar.
Reaksi dari Baek Hyun-lah yang menjadi masalah bagiku.
“Kau gila? Lebih baik aku pergi dari rumah dan menjadi orang miskin daripada berpisah denganmu!”
Dan, ya, layaknya seorang Byun Baek Hyun yang terlampau percaya dengan dirinya sendiri, ia pun pergi meninggalkan rumah. Orangtuanya amatlah marah dan mengancam untuk mencabut semua hak harta warisan milik Baek Hyun. Namun, lelaki itu tidak peduli. Baek Hyun tidak pernah memikirkan kekayaannya maupun kekuasaan yang dimiliki oleh keluarganya. Ia hanya ingin hidup bebas dan bahagia.
“Orangtuaku akan mengerti. Suatu hari nanti mereka akan tahu bahwa harta bukanlah segalanya. Bahwa uang tak akan bisa melunturkan cintaku padamu,” Baek Hyun berkata lembut sembari mengacak rambutku dan mengecup dahiku pelan.
“Baek…”
“Ya?”
“Kau yakin kau bisa menjalaninya? Hidup di duniaku yang tak senyaman milikmu dulu?”
Baek Hyun mengerutkan alis, bibirnya mengerucut kesal karena merasa diremehkan. Ia menepuk-nepuk dadanya dengan kuat, berusaha menunjukkan jika ia akan selalu baik-baik saja.
“Tentu saja! Aku sudah menyerahkan semua yang kumiliki agar bisa bersatu denganmu, di dunia baru milik kita sendiri. Selamanya. Kau juga sudah berjanji, bukan?” ia bertanya dengan nada sedikit menyelidik, kelingkingnya teracung ke depan wajahku.
“Ya, aku berjanji,” bisikku pelan sembari mengaitkan jemari kami, mengikat janji kami untuk hidup bersama-sama. Baek Hyun merengkuh tubuhku, membiarkan hangat berenang-renang di dalam samudera kecil kebahagiaan kami.
Selamanya.
***
~END~